Hai, nona.
Apapun warna langitmu hari ini, aku berharap ia cukup
bersahabat. Cukup baik untuk memberimu ruang bergerak bebas, sebagaimana yang
kau suka. Tanpa ada yang mencoreng lengkung indah senyum mu.
Sementara langitku di sini sedang redup.
Lalu aku berjalan sedikit ke belakang, aku menemukan
potretmu dan semesta yang sedang kau cipta, semesta yang tidak begitu asing
bagiku. kugantung potretmu di langitku, ‘hampiri dia’ bisiknya. Namun jalan menujumu adalah tembok terjal.
Sementara aku tidak mampu mendaki nya. Kubiarkan waktu mengikis dinding-dinding
tembok terjal itu.
Dan aku menemukanmu di baliknya. Langitku bergetar. Kepalaku
dihujani ribuan semoga. Aku mencoba berteduh di semesta yang kau ciptakan. Kau
memberiku secangkir obrolan hangat. Dan teduhlah hatiku. Lalu aku mencoba
berjalan-jalan di semestamu. Kau dengan senang hati menuntun langkah ku di
dunia mu.
Lalu aku ajak kau mampir di semestaku. Kujamu kau dengan
sepiring isi kepalaku yang kemudian kau balas dengan tawa dari bibirmu. Aku
senang melihatmu tertawa bahagia.
Namun kemudian dadaku sesak. Penuh bunga yang bermekaran,
lengkap dengan kupu-kupu yang berterbangan dengan indah nya.
Sejak saat itu aku tau, aku ingin menyatukan langitku dengan
langitmu. Langitmu yang tidak begitu asing bagiku, dengan selusin lebih hal
yang juga kau temukan di langitku.
Seketika aku berharap Tuhan punya rencana yang sama
denganku. Membiarkanku meneduhi harimu. Tidak membiarkan aku mati dalam
bait-bait malam.
Orang-orang menyebutnya cinta.
Aku jatuh cinta dengan segala bait yang kita bagi. Aku jatuh
cinta dengan langkah yang kita tuju bersama. Aku jatuh cinta di antara helai
rambutmu yang tersandar di bahuku. Aku jatuh cinta di antara jemari kita yang
saling beradu.
No comments:
Post a Comment