Monday 18 June 2012

Seperti Pagi Pagi Sebelumnya

Matahari pagi menghangatkan mataku, menggelitik kelopak mata ini untuk bangkit dari pejam.
Sepertinya aku bangun terlalu siang untuk sebuah pagi. Namun masih seperti biasa, kau sudah tidak berbaring disampingku. Tetap ada secangkir teh hijau yang menggoda dengan tak sabar ingin segera membasahi kerongkonganku. Juga ada sepiring roti berlapis coklat yang sedari tadi menemani cangkir teh hijau yang menantiku untuk singgah.

Pagi ini memang seperti pagi pagi sebelumnya. Kau masih tetap anggun dengan rambut yang dikuncir itu, memberimu aura seorang wanita hebat.
Tetap cerewet dengan hingar bingar tetangga. Menertawai kelakuan si tukang penjual sayur keliling. Menatapku dengan tatapan aneh ketika aku tetap tidak membaca isi harian surat kabar yang tidak kuhentikan untuk berlangganan, aku merasa muak dengan mereka yang meributkan hal yang itu itu saja. Kemudian mendebatkan lagu pilihanku yang kuputar di gramophone tua di sudut ruangan. Kau pada Doris Day, dan aku tetap enggan berpaling dari Edith Piaf. Namun tetap saja kita berdansa penuh suka mengikuti irama yang menggema.

Lalu kita tiba pada momen favorit kita berdua, yang kemudian kita kutuk bersama. Menyusuri pinggiran kota untuk mengantarmu pada sibukmu. Menertawai hari. Membunuh waktu yang berjalan dengan angkuh. Dan ketika lelah bersuara kita menyusuri etalase etalase pertokoan kota yang begitu megah ini dalam sebuah diam. Tapi tetap, ada senyum indah di bibirmu. Matamu bersinar dengan terangnya.
Kita tiba di ujung jalan, berbelok ke sebuah gang sempit.

Aku mengutuk pilu ketika harus melewati gang sempit yang dibaui mawar. Hatiku penuh bilur, seperti dicambuki terus menerus. Aku mengutuki diri untuk harus melepasmu lagi. Aku seolah ingin meneriaki Tuhan, "mengapa begitu cepat, Tuhan?!". Aku tau itu percuma, tapi aku benar benar belum siap.  Aku tidak siap berdansa dengan sebuah kesendirian. Kembali melacuri diriku pada sebuah rindu.

"jaga dirimu baik baik, jangan menuangkan terlalu banyak gula pada tehmu", bisikmu ke telingaku. Aku hanya menjawab dengan sebuah senyum.
Dan kemudian kau menghilang di persimpangan gang, menuju nisanmu, seperti pagi pagi sebelumnya.