Sunday 5 June 2016

Kau

Kau,
rinai yang membasahi beranda
yang memelukku dingin bersama angin selatan
menjelma rindu pada kelopak mata

Kau,
embun yang menjejak di jendela
lantunan nada yang mengirisku lirih
menjadi bahagia pada rimba yang jauh

Kau,
gurat yang patrinya tak lekang dalam enggan
batu karang yang kokoh di lautan ingatan
menjelma bayang di punggung keramaian

Kau,
mata yang ditumbuhi mawar
pada buku cerita yang kau suka

Kau,
punggung yang tak kusentuh
dalam potret lalu

Wednesday 1 June 2016

Di Puncak Gedung Tua

Langit masih kelabu sehabis hujan. Tidak ada pelangi hari ini. Tuan tanpa lelah menyusuri jalan-jalan kecil yang masih digenangi air, wangi tanah yang basah menjadi nafas si tuan yang berbekal cerutu di tangan kanannya dan surat kabar yang belum dibacanya sedari pagi pada tangan kiri.

Gedung tua yang tidak selesai dibangun menjadi tujuan si tuan. Ia naiki anak tangga satu demi satu menuju atap. Ia selalu suka menyambut malam di tepi atap gedung, menjadi saksi mentari sore disapu langit menjadi malam.

Dengan nafas tersengal tibalah ia di puncak gedung. Si tuan duduk di bibir gedung, ia padamkan cerutunya yang baru habis terbakar setengah. Dibukanya surat kabar, berita-berita yang tidak baik dan cerita yang tidak usai tak menggenapi isi kepalanya yang berlarian tak berkesudahan, semuanya hanya berceceran menjadi lembar yang tiada guna. Bait-bait yang tercatat di barak ingatannya hanya menjadi puing yang terbengkalai tanpa nama.

Langit sore ini tidak menjingga. Tidak ada keindahan hari ini. Kupu-kupu di perutnya pun mati kehausan tanpa kembang yang bermekaran. Dadanya yang sesak hanya ditumbuhi kekeringan, tak menuai apa-apa. Ladang yang ia tanam pada jauh hari hanya menjadi tanah singgah yang tanpa indah.

Tuan memandang jauh ke langit yang luas. Ia tak cukup terluka untuk membagi perihnya pada angin yang berhembus ke ufuk barat. Nafasnya tak cukup hangat untuk menebas jarak yang melintas cakrawala.

Di ujung senja yang gelap itu tuan hanya meninggalkan jejak yang perlahan akan dihapus angin, menghilang ke udara. 'Dan jangan segan kau kirimkan pesan ke udara tempatku berdiam'*, bisiknya, mengenang bait salah satu lagu kesukaannya. Tanpa harap.



*bait dari lagu milik Melancholic Bitch dengan judul Kabar Dari Tepi Atap Pencakar Langit

Sunday 22 May 2016

Langit yang Ingkar dan Laut yang Tengkar

Langit ingkar malam itu, ia penuhi kepalamu dengan ketidak-menentuannya.
Segala tanya yang enggan kita suarakan masih menyesakkan langit dan relungnya.
Segala tanya yang penuh sesak itu bermuara pada sesal.
Sementara laut masih tengkar akan ketidak-tahuanku.
Dan kamu masih bersungut dengan segala ragumu.
Langit yang ingkar dan laut yang tengkar,
dan tanda tanya itu masih menjadi rahasia yang sesakkan jiwa kita.

Friday 20 May 2016

Di Pantai

Di pantai,
Kita saling melempar tanya yang tak kita suarakan dari tepiannya
hingga jauh melayang ke tengah lautan yang menjingga.
Di palungnya tumbuh ragu yang kita tanam sedari pagi
hingga rembulan mengecup mesra bintang di langit yang sepi.
Berlari kita ke tengah dengan ombak yang tak menentu,
membasahi kita dengan pilu tak tentu.
Jejak tapak kita disapu ombak yang terburu-buru,
yang kemudian kita lubangi lagi dengan rindu yang malu-malu.

Di pantai,
Merebah kita di hamparan pasir
Kubohongi langit yang menggelap,
dan jantungku yang berdegup gagap.
Kau tutup matamu yang penuh ragu,
sambil menghirup udara yang menjadi pengap parumu.

Di pantai itu,
kita menanti cahaya melenyapkan gelap ladang batinmu, 
tuk menemui aku yang menjelma ragu di palung hatimu.

Thursday 5 May 2016

Bulan Malam Ini

Malam ini bulan membuka jalan pulang,
diteduhinya rimba musafir yang letih tertatih

Malam ini bulan begitu hangat,
dipeluknya sukma Hawa
dan mekarlah ladang hatinya

Malam ini bulan begitu arif,
disampaikannya jejak kerinduan tuan
Ia buka gerbang hati puan

Malam ini bulan merah jambu
Tuan dan Puan tersipu malu

Tuan musafir tak lagi kelana
Ia rebah menyandarkan lelah
Hawa tak lagi mendamba
Ia sempurna merona

Bulan merah jambu,
dua sukma bersatu

Saturday 2 April 2016

Ketiadaan, yang Mewaraskan Kita

Pernah aku terobsesi pada sebuah ada.
Aku merasakan kehidupan dalam perbincangan kita,
hembusan nafasku menjadi lebih berarti di antara gelak tawa yang kita bagi.

Namun kita tau percakapan kita hanya bermuara pada ketiadaan,
dituntun berbatang rokok yang kita benamkan di asbak.
Gelas berembun yang kita tenggak hanya melepas dahaga,
yang lalu memeluk kita menuju tiada.

Kita tau ketiadaan lah yang akan mewaraskan kita.
Ketiadaan itu yang membuat kita menerima hidup.
Dan dalam tiada,
kita pelan-pelan menjadi nyata.
Kita adalah dua yang tidak benar-benar ada.

Monday 1 June 2015

Tentang Laut

Besok aku akan bercerita tentang laut padamu. Tentang letihnya aku berlayar. Tentang betapa merindunya aku akan sebuah pulang. Tentang betapa bukan suatu yang indah ketika aku berlabuh, yang bermesraan di kepalaku justru adalah rumah. Rumah yang sebenar-benarnya pulang. Dan, kau, adalah ayat ketiga yang kulantunkan dalam doaku di tengah luasnya lautan itu.

Sunday 28 December 2014

Rumah Itu Barangkali Sudah Mati

Kau bepergian menghirup dunia.
Berlalu-lalang di sesaknya keriaan yang bukan kepalang.
Berkali-kali tersesat.
Menambah barak luka di salah satu sudut ingatan itu.

Lalu kau mendamba pulang.
Tetapi kau tidak tahu dimana rumah itu.
Rumah yang kau siasati di barak ingatanmu itu,
rumah yang barangkali sudah mati kala kau bepergian.