Wednesday, 1 February 2012

day #19 - Sentuhan Magis Pria Malang

aku melalui pagi seperti biasa, memasuki pagar dengan begitu santai. melewati aula yg tampak gelap. ya, pagi itu masih pukul setengah tujuh lewat lima. memang, aku terlalu rajin dulu. tidak seperti sekarang.
bel berbunyi, semuanya berbondong bondong ke halaman depan untuk upacara senin pagi lengkap dengan topi dan dasi. penuh disiplin, karena memang itu yg diutamakan oleh sekolahku.
upacara selesai, tapi kami belum dibubarkan. ada pengumuman tambahan, ternyata ada seorang guru baru. berdiri memperkenalkan dirinya dengan tubuh yg tampak kurus, jangkung dan rambut ikal yg tebal. ternyata dia perantau, datang dari tempat yg jauh, Malang. aku tau itu di daerah Jawa, tidak tau di bagian mana. karena memang aku tidak begitu lihai merekam pelajaran ips dulu, dan lumayan cuek.
enam bulan berlalu, kenaikan kelas. dan ternyata sosok yg aku kenal dari perkenalan umum enam bulan sebelumnya menjadi wali kelasku. ya, perantau dari Malang. seperti anak sd pada umumnya dulu, semua takut. pertemuan pertama begitu dingin, tapi dia berhasil menghangatkannya.
matematika kelas empat, bukan pelajaran yg enteng dulunya. tapi, dengan sentuhan magis pria dari Malang tadi aku begitu lancar melaluinya. kembali menikmati pelajaran pelajaran yg ada.
dua tahun berlalu, tahun terakhir di bangku sekolah dasar. dan sepertinya tahun terakhir aku bertemu dengannya. pertemuan terakhir sepertinya saat aku meminta dia untuk membimbingku menyelesaikan soal soal sebagai bekalku masuk ke bangku sekolah menengah pertama. benar saja, dengan bantuannya aku sukses masuk ke sekolah yg aku inginkan.

sekarang sudah tahun ke lima kita tidak bertemu, pak. bagaimana kabarmu?ah boro boro bertanya kabar, bahkan sekarang aku tidak tau lagi bapak mengajar dimana. sudah kembali ke Malang kah?
aku rindu logat kejawa-an yg bapak perdengarkan ketika mengajar, sentuhan magis untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. aku ingat kepercayaan yg bapak berikan dulu yg mungkin menjadi kesalahan terbesar bapak, yaitu mempercayakanku mengikuti lomba menggambar mewakili sekolah. itu benar benar blunder, pak.
mungkin ketika bertemu lagi, kita bisa berbicara tentang hal hal yg lebih berat mungkin. perbincangan kedua pihak yg semakin berkembang, bocah yg sudah berubah menjadi seorang remaja berbicara dengan sesosok yg pastinya menjadi lebih bijak, menuntut ilmu yg bukan lagi berkemasan formal. atau sebatas nostalgia guru dan murid, bercerita masa lalu, menertawakan masa lalu.

ini surat cinta untuk bapak, berdasar dengan sebuah rindu, Bapak Eko Rubianto.

No comments:

Post a Comment