Wednesday 1 June 2016

Di Puncak Gedung Tua

Langit masih kelabu sehabis hujan. Tidak ada pelangi hari ini. Tuan tanpa lelah menyusuri jalan-jalan kecil yang masih digenangi air, wangi tanah yang basah menjadi nafas si tuan yang berbekal cerutu di tangan kanannya dan surat kabar yang belum dibacanya sedari pagi pada tangan kiri.

Gedung tua yang tidak selesai dibangun menjadi tujuan si tuan. Ia naiki anak tangga satu demi satu menuju atap. Ia selalu suka menyambut malam di tepi atap gedung, menjadi saksi mentari sore disapu langit menjadi malam.

Dengan nafas tersengal tibalah ia di puncak gedung. Si tuan duduk di bibir gedung, ia padamkan cerutunya yang baru habis terbakar setengah. Dibukanya surat kabar, berita-berita yang tidak baik dan cerita yang tidak usai tak menggenapi isi kepalanya yang berlarian tak berkesudahan, semuanya hanya berceceran menjadi lembar yang tiada guna. Bait-bait yang tercatat di barak ingatannya hanya menjadi puing yang terbengkalai tanpa nama.

Langit sore ini tidak menjingga. Tidak ada keindahan hari ini. Kupu-kupu di perutnya pun mati kehausan tanpa kembang yang bermekaran. Dadanya yang sesak hanya ditumbuhi kekeringan, tak menuai apa-apa. Ladang yang ia tanam pada jauh hari hanya menjadi tanah singgah yang tanpa indah.

Tuan memandang jauh ke langit yang luas. Ia tak cukup terluka untuk membagi perihnya pada angin yang berhembus ke ufuk barat. Nafasnya tak cukup hangat untuk menebas jarak yang melintas cakrawala.

Di ujung senja yang gelap itu tuan hanya meninggalkan jejak yang perlahan akan dihapus angin, menghilang ke udara. 'Dan jangan segan kau kirimkan pesan ke udara tempatku berdiam'*, bisiknya, mengenang bait salah satu lagu kesukaannya. Tanpa harap.



*bait dari lagu milik Melancholic Bitch dengan judul Kabar Dari Tepi Atap Pencakar Langit

No comments:

Post a Comment